Akulturasi Budaya Daerah Jepara



AKULTURASI BUDAYA MASING-MASING DAERAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Sejarah Kebudayaan Islam



Description: LOGO UIN.png

Oleh    :
Muhammad Radya Yudantiasa
15530095





JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2015
KATA PENGANTAR

          Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat, karunia, serta hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang bertemakan tentang Akulturasi Budaya Daerah dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Fauzan selaku dosen mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam yang telah banyak memberikan ilmu serta nasehat yang bermanfaat bagi kami.
            Kami sangat berharap semoga makalah ini dapat berguna  dalam rangka menambah wawasan pengetahuan kami tentang Akulturasi Budaya Daerah. Kami juga menyadari bahwa banyak kekurangan dari makalah ini yang jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran, serta usulan demi perbaikan makalah yang kami buat untuk masa yang akan datang.
            Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membacannya. Kami memohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam  makalah yang kami buat. Dan kami memohon kritik dan saran demi perbaikan pada diri kami untuk masa yang akan datang.




Yogyakarta, 3 Desember 2015


Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

            Setiap tradisi yang mampu bertahan lama, pastilah melalui proses evolusi kebudayaan yang panjang dan memiliki kesamaan akan historis. Evolusi yang diikuti akulturasi itu, pada akhirnya menimbulkan keselarasan dan kecocokan dengan masyarakat penganutnya. Begitu halnya dengan tradisi kupatan atau lomban dan perang obor di Jepara.[1] Jepara sebagai kota yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan selain sebagai pengrajin seni ukir (mebel) juga mempunyai satu tradisi warisan leluhur yang masih disakralkan hingga kini yaitu Tradisi Syawalan( kupatan) atau biasa disebut Pesta Lomban.  Masyarakat Jepara menganggap Pesta Lomban menjadi sebuah upacara ritual tahunan yang sakral dan memberikan kekuatan spiritual yang kuat bagi para nelayan untuk kembali melaut mencari nafkah dan merupakan ritual penolak balak di lautan, sehingga merasa nyaman dalam bekerja. Begitu juga dengan tradisi perang obor yang masih relevan dan dilestarikan oleh masyarakat pemiliknya dei desa Tegal Sambi Kecamatan Jepara, Kaabupaten Jepara.


B.     Rumusan Masalah

1.      Apa tradisi lomban di Jepara?
2.      Apa tradisi Perang Obor di Jepara?

C.    Tujuan

1.      Mengetahui tradisi lomban di Jepara
2.      Mengetahui tradisi Perang Obor di Jepara
























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Pesta Lomban

 Pesta lomban itu sendiri telah berlangsung lebih dari 1 (satu) abad yang lampau. Berita ini bersumber dari tulisan tentang lomban yang dimuat dalam Kalawarti/Majalah berbahasa Melayu bernama Slompret Melayu yang terbit di Semarang pada paruh kedua abad XIX edisi tanggal 12 dan 17 Agustus 1893 yang menceritakan keadaan lomban pada waktu itu, dan ternyata tidak berbeda dengan apa yang dilaksanakan masyarakat sekarang. Diceritakan dalam pemberitaan tersebut, bahwa pusat keramaian pada waktu itu berlangsung di teluk Jepara dan berakhir di Pulau Kelor. Pulau Kelor sekarang adalah komplek Pantai Kartini atau taman rekreasi Pantai Kartini yang kala itu masih terpisah dengan daratan di Jepara. Karena pendangkalan, maka lama kelamaan antara Pulau Kelor dan daratan Jepara bergandeng menjadi satu. Pulau Kelor (sekarang Pantai Kartini) dahulu pernah menjadi kediaman seorang Melayu bernama Encik Lanang, pulau ini dipinjamkan oleh Pemerintah Hindia Belnda kepada Encik Lanang atas jasanya dalam membantu Hindia Belanda dalam perang di Bali. Pesta Lomban kala itu memang saat-saat yang menggembirakan bagi masyarakat warga nelayan di Jepara. Pesta ini dimulai pada pagi hari saat matahari mulai menampakkan cahayanya di bumi, penduduk peserta Lomban telah bangun dan menuju perahunya masing-masing.Mereka mempersiapkan amunisi guna dipergunakan dalam “Perang Teluk Jepara”, baik amunisi logistik berupa minuman dan makanan maupun amunisi perang berupa ketupat, lepet dan kolang kaling, guna meramaikan dibawa pula petasan sehingga suasananya ibarat perang. Keberangkatan armada perahu ini di iringi dengan gamelan Kebogiro. Bunyi petasan yang memekakkan telinga dan peluncuran “Peluru” kupat dan lepet dari satu perahu ke perahu yang lain. Saat “Perang Teluk” berlangsung dimeriahkan dengan gamelan Kebogiro. Seusai pertempuran para peserta Pesta Lomban bersama-sama mendarat ke Pulau Kelor untuk makan bekalnya masing-masing. Di samping makan bekalnya situasi di Pulau Kelor tersebut ramai oleh para pedagang yang juga menjual makanan dan minuman serta barang-barang kebutuhan lainnya. Selain pesta-pesta tersebut, para nelayan peserta Pesta Lomban tak lupa lebih dahulu berziarah ke makam Encik Lanang yang dimakamkan di Pulau Kelor tersebut. Sebelum sore hari Pesta Lomban berakhir penonton dan peserta pulang ke rumah masing-masing.


B.     Istilah Kata Lomban (Kupatan)

Istilah Lomban oleh sebagian masyarakat Jepara disebutkan dari kata “lomba-lomba” yang berarti masyarakat nelayan masa itu bersenang-senang melaksanakan lomba-lomba laut yang seperti sekarang masih dilaksanakan setiap pesta Lomban, namun ada sebagian mengatakan bahwa kata-kata lomban berasal dari kata “Lelumban” atau bersenang-senang. Pesta Lomban merupakan pesta masyarakat nelayan di wilayah Kabupaten Jepara dalam bentuk sedekah laut. Namun kini sudah menjadi milik keseluruhan masyarakat Jepara, bukan nelayan saja. Semuanya mempunyai makna yang sama yaitu merayakan hari raya dengan bersenang-senang setelah berpuasa Ramadhan sebulan penuh. Yang pasti, bada lomban merupakan momen bagi para nelayan untuk bersenang-senang dalam merayakan Idul Fitri setelah menunaikan puasa sebulan penuh. Tidak hanya para nelayan, anak-anak yang tinggal di sekitar pantai dengan menyeramakkan tersebut dengan menggunakan baju warna-warni. Pesta ini merupakan puncak acara dari Pekan Syawalan yang diselenggarakan pada tanggal 8 syawal atau 1 minggu setelah hari Raya Idul Fitri dengan melarung kepala kerbau ke tengah lautan. Pusat perayaan ini berada di Pantai Kartini, Jepara, namun bisa juga disaksikan di Ujung Gelam, Pantai Koin, Karimunjawa, pantai bandengan, pantai bondo, serta beberapa tempat yang di tentukan sebelumnya. Selain bada lomban, dikenal pula bada kupat. Kupat adalah bentuk tradisional yang tidak asing lagi bagi masyarakat khususnya masyarakat Jawa Tengah. Secara harfiah, ketupat merupakan jenis makanan yang dibuat dari pembungkus pelepah daun janur berbentuk hati yang di dalamnya berisi beras yang sudah matang. Ketupat ini hanyalah merupakan bentuk simbolisasi yang bermakna hati putih yang dimiliki oleh seseorang yang kembali suci.
Ketupat dalam bahasa Jawa berasal dari singkatan “Ngaku Lepat” yang berarti mengakui kesalahan. Maknanya, dengan tradisi ketupat diharapkan setiap orang mau mengakui kesalahan, sehingga memudahkan diri untuk memaafkan kesalahan orang lain. Singkatnya, semua dosa yang ada akan saling terlebur bersamaan dengan hari raya idul fitri. Selain itu ketupat mengandung empat makna yakni: lebar, lebur, luber dan labur. Lebar artinya luas, lebur artinya dosa atau kesalahan yang sudah diampuni, luber maknanya pemberian pahala yang berlebih, dan labur artinya wajah yang ceria. Secara keseluruhan bisa dimaknai sebagai suatu keadaan yang paling bahagia setelah segala dosa yang demikian besar diampuni untuk kembali menjadi orang yang suci dan bersih. Banyak makna filosofis yang dikandung dalam makanan ketupat ini. Bungkus yang dibuat dari janur kuning melambangkan penolak bala bagi orang Jawa. Sebagian masyarakat juga memaknai rumitnya anyaman bungkus ketupat mencerminkan berbagai macam kesalahan manusia sedangkan warna putih ketupat ketika dibelah dua mencerminkan kebersihan dan kesucian setelah mohon ampun dari kesalahan. Beras sebagai isi ketupat diharapkan menjadi lambang kemakmuran setelah hari raya. Adapun bentuk ketupat yang persegi, menjadi simbol atau perwujudan cara pandang kiblat papat lima pancer. Cara pandang itu menegasikan adanya harmonisasi dan keseimbangan alam: empat arah mata angin utama, yaitu timur, selatan, barat, dan utara yang bertumpu pada satu pusat. Maknanya, manusia dalam kehidupan, ke arah manapun dia pergi, hendaknya tidak pernah melupakan pancer yaitu tuhan yang maha Esa. Selain ketupat, makanan khas di Jepara pada saat pesta lomban adalah lepet.
Lepet adalah makanan terbuat dari ketan dan kelapa, kadang-kadang ditambahkan dengan kacang tanah, dibungkus juga dengan janur tetapi cara membungkusnya berbeda degan kupat. Janur dilipat secara memanjang dimana adonan ketan diletakkan di tengah-tengahnya, kemudian diikat dengan tali bambu secara melingkar. Lepet memberi makna pertama, "mangga dipun silep ingkang rapet" (Jawa: mari disimpan/dikubur dengan rapat-rapat). Kedua, dibungkus menyerupai mayat dan diikat laksana kafan (pembungkus mayat), memberi makna bahwa ketan itu lengket dan dierat dengan tali persaudaraan, agar kesalahan tidak menjadi dendam sampai mati. Secara bebas dimaknai dari Kupat-Lepet ini adalah "Mengakui segala kesalahan dan memohon maaf, kemudian mengubur kesalahan tersebut dalam-dalam untuk tidak diulangi dengan hati yang bersih, agar persaudaraan semakin erat, tidak ada dendam hingga ajal menjelang". Tujuan diadakannya Pesta Lomban ini sebagai bentuk nyata peran Pemerintah Kabupaten Jepara dalam melestarikan budaya lokal Jepara, sebagai salah satu bentuk kearifan lokal Jepara sekaligus event untuk mempromosikan potensi wisata Kabupaten Jepara khususnya wisata budaya yang dimiliki Kabupaten Jepara.   

C.    Prosesi Tradisi Lomban (kupatan)

            Pesta Lomban masa kini telah dilaksanakan oleh warga masyarakat nelayan Jepara bahkan dalam perkembangannya sudah menjadi milik warga masyarakat Jepara. Hal ini nampak partisipasinya yang besar masyarakat Jepara menyambut PestaLomban. Dua atau tiga hari sebelum Pesta Lomban berlangsung pasar-pasar di kota Jepara nampak ramai seperti ketika menjelang Hari Raya Idul Fitri. Ibu-ibu rumah tangga sibuk mempersiapkan pesta lomban sebagai hari raya kedua. Pedagang bungkusan kupat dengan janur (bahan pembuat kupat dan lepet) juga menjajakan ayam guna melengkapi lauk pauknya. Malam hari sebelum acara pesta Lomban berlangsung, biasanya diadakan pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Pada saat pesta Lomban berlansung semua pasar di Jepara tutup tidak ada pedagang yang berjualan semuanya berbondong-bondong ke Pantai Kartini Pesta Lomban dimulai sejak pukul 06.00 WIB dimulai dengan upacara Pelepasan Sesaji dari TPI Jobokuto.
Upacara ini dipimpin oleh pemuka agama desa Jobokuto dan dihadiri oleh Bapak Bupati Jepara dan para pejabat Kabupaten lainnya. Sesaji itu berupa kepala kerbau, kaki, kulit dan jerohannya dibungkus dengan kain mori putih. Sesaji lainnya berisi sepasang kupat dan lepet, bubur merah putih, jajan pasar, arang-arang kambong (beras digoreng), nasi yang diatasnya ditutupi ikan, jajan pasar, ayam dekeman (ingkung), dan kembang boreh/setaman. Semua sesaji diletakkan dalam sebuah ancak yang telah disiapkan sebelumnya. Setelah dilepas dengan do’a sesaji ini di”larung” ke tengah lautan, pembawa sesaji dilakukan oleh sejumlah rombongan yang telah ditunjuk oleh pinisepuh nelayan setempat dan diikuti oleh keluarga nelayan, semua pemilik perahu, dan aparat setempat. Pelarungan sesaji ini dipimpin oleh Bupati Jepara. Tradisi pelarungan kepala kerbau ini dimulai sejak Haji Sidik yang kala itu menjabat Kepala Desa Ujungbatu sekitar tahun 1920. Upacara pemberangkatan sesaji kepala kerbau yang dipimpin oleh Bapak Bupati Jepara, sebelum diangkut ke perahu sesaji diberi do’a oleh pemuka agama dan kemudian diangkat oleh para nelayan ke perahu pengangkut diiringi Bupati Jepara bersama dengan rombongan. Sementara sesaji dilarung ke tengah lautan, para peserta pesta lomban menuju ke “Teluk Jepara” untuk bersiap melakukan Perang Laut dengan amunisi beragam macam ketupat dan lepet tersebut. Di tengah laut setelah sesaji dilepas, beberapa perahu nelayan berebut mendapatkan air dari sesaji itu yang kemudian disiramkan ke kapal mereka dengan keyakinan kapal tersebut akan mendapatkan banyak berkah dalam mencari ikan. Ketika berebut sesaji ini juga dimeriahkan dengan tradisi perang ketupat dimana antar perahu yang berebut saling melempar dengan menggunakan ketupat.
Selanjutnya dengan disaksikan ribuan pengunjung Pesta Lomban acara “Perang Teluk” berlangsung ribuan kupat, lepet, kolang kaling, telur-telur busuk berhamburan mengenai sasaran dari perahu ke perahu yang lain. “Perang Teluk” usai setelah Bupati Jepara beserta rombongan merapat ke Pantai Kartini dan mendarat di dermaga guna beristirahat dan makan bekal yang telah dibawa dari rumah. Di sini para peserta pesta Lomban dihibur dengan tarian tradisional Gambyong dan Langen Beken dan lain sebagainya. Maksud dari upacara pelarungan ini adalah sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada Allah SWT, yang melimpahkan rezeki dan keselamatan kepada warga masyarakat nelayan selama setahun dan berharap pula berkah dan hidayahNya untuk masa depan. Selain itu pelarungan ditujukan sebagai salah satu bentuk rasa hormat kepada Yang Maha Penguasa ‘sing mbaurekso’ sebagai ruh para leluhur yang mereka percaya dapat menjaga dan melindunginya dari segala ancaman dari marabahaya dan mala petaka. Tradisi upacara yang masih bertahan dapat memberi gambaran bahwa masyarakat nelayan masih memegang teguh adat istiadat yang diwarisi secara turun-temurun. Kepercayaan terhadap leluhur, roh halus merupakan manifestasi keteguhan hati yang masih mengakar pada diri nelayan Jepara dalam hal nguri-uri kebudayaan leluhurnya.

D.    Sejarah Perang Obor
Pada abad XVI masehi. Pada waktu di desa Tegalsambi ada seorang petani yang sangat kaya raya dengan sebutan “ Mbah Kiai Babadan”. Beliau mempunyai banyak bianatang piaraan terutama kerbau dan sapi.Untuk mengembalakannya sendiri jelas tidak mungkin, sehingga beliau mencari dan mendapatkan penggembala dengan sebutan Ki Gemblong.Ki Gemblong ini sangat tekun dan rajin dalam memelihara binatang-binatang peliharaannya tersebut, setiap pagi dan sore beliau selalu memandikan di sungai, sehingga binatang peliharannya tampak gemuk-gemuk dan sehat.Tentu saja Kiai Babadan merasa senang dan memuji Ki Gemblong atas kepatuhan dan ketekunannya dalam memelihara binatang tersebut.

Konon, suatu ketika Ki Gemblong menggembala di tepi sungai sambil asyik menyaksikan banyak ikan dan udang yang ada di sungai tersebut, dan tanpa menyia-nyiakan wakktu ia langsung menangkap ikan dan udang, sehingga ia lupa akan tugas utamannya yaitu sebagai penggembala, akhirnya kerbau dan sapinya menjadi kurus-kurus dan akhirnya jatuh sakit bahkan mulai ada yang mati. Keadaan ini menyebabkan Kiai Babadan menjadi bingung, tidak kurang-kurangnya dicarikan jampi-jampi demi kesembuhan binatang-binatang piaraannya tetapi tetap tidak sembuh juga.Akhirnya Kiai Babadan mengetahui penyebab binatang piaraanya menjadi kurus dan akhirnya jatuh sakit, tidak lain karena Ki gemblong tidak mengurus binatang-binatang tersebut. Namun lebih asyik menangkap ikan dan udang untuk dibakar dan dimakan.

Melihat hal semacam itu Kiai Babadan marah besar,disaat ditemui Ki Gemblong sedang asyik membakar ikan hasil tangkapannya.Kiai Babadan langsung menghajar KI Gemblong dengan menggunakan obor dari pelepah kelapa.Melihat gelagat yang tidak menguntungkan Ki Gemblong tidak tinggal diam, dengan mengambil sebuah obor yang sama untuk menghadapi Kyai Babadan sehingga terjadilah ” Perang Obor” yang apinnya berserakan kemana-mana dan sempat membakar tumpukan jerami yang berada di sebelah kandang.Kobaran api tersebut mengakibatkan sapi dan kerbau yang berada di kandang lari tunggang langgang dan tanpa disuga binatang yang tadinnya sakit akhirnya menjadi sembuh bahkan binatang yang tersebut mampu berdiri tegak sambil memakan rumput di ladang.[2]
E.     Pelaksanaan Upacara Tradisional Perang Obor

Upacara tradisional Perang Obor dalam pelaksanaanya masih melestarikan tradisi leluhur. Upaca ini diselenggarakan erat kaitannya dengan kegiatan penduduk sehari-hari, terutama kegiatan petani dan mengolah tanah.Upacara tersebut dilaksanakan pada hari senin pahing malam selasa pon pada bulan Dzulhijjah, namun untuk pelaksanaan ini disesuaikan denganmasa panen. Dalam pola berfikir orang Jawa yang menganut tradisi warisan dan leluhur pada keyakinan atau kepercayaan terhadap apa yang dianggap hari keramat dan suci.Warga Tegalsambi meyakini bahwa hari tersebut merupakan hari hilangnya wabah penyakit yang menimpa warga desa Tegalsambi.

Menurut keyakinan yang ada, upacara tradisional perang obor akan memperkuat dugaan akan hilangnya wabah penyakit. Tanpa upacara tersebut, warga percaya ada kemungkinan datangnya wabah penyakit dan malapetaka, sehingga akan mengakibatkan bencana bagi penduduk yang bersangkutan.

F.     Pelaku dalam Upacara Tradisional Perang Obor
Upacara tradisional perang obor merupakan upacara tradisi yang harus dilaksanakan bagi warga desa Tegalsambi.Untuk itu, warga bertanggung jawab atas segala pelaksanaan upacara tersebut. Dalam pelaksanaan upacara tersebut, warga yang terlibat yaitu Kepala Desa beserta perangkatnya,tokoh agama, serta organisasi kepemudaan (Karan Taruna). Mereka inilah yang mengadakan musyawarah desa untuk menentukan segala sesuatu yang menyangkut persiapan seperti penentuan hari pelaksanaan, sarana, dan prasarana.Yang terlibat dalam tahap upacara tradisional perang obor antara lain :

A.    Pada waktu selamatan di punden-punden
Selamatan yang dilaksanakan delapan hari sebelum acara puncak ini melibatkan :
1.      Kepala Desa sebaai sesepuh yang membakar kemenyan
2.      Modin sebagai pemimpin doa
3.      Beberapa warga desa yang ikut selamatan
B.     Pada waktu penyembelihan Hewan
Penyembelihan hewan yang dilaksanakan pada pagi hari pelaksanaan upacara tersebut melibatkan :
1.      Modin sebagai pemimpin penyembelihan
2.      Para perangkat desa pembantu
3.      Ibu-ibu istri perangkat desa dan warga yang membantu
4.      Beberapa warga yang menyaksikan
C.     Pada waktu penyelenggaraan wayang kulit
Pementasan wayang kulit diselenggarakan sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada Dewi Sri (Dewi Padi) yang telah menjaga padi dan tanaman mereka.Yang terlibat adalah :
1.      Kepala Desa dan para perangkatnya
2.      Dalang beserta rombongannya
3.      Beberapa warga yang menyaksikan
D.    Pada waktu selamatan di masjid
Selamatan yang diselenggarakan setelah dzuhur ini melibatkan :
1.      Kepala Desa dan peranghkatnya yang memimpin sesajen
2.      Modin sebagai pemimpin doa
3.      Beberapa warga yang ikut menyaksikan
E.     Pada waktu perang obor
Pelaksanaan perang obor acara puncak dalam upacara tradisional perang obor. Yang terlibat adalah :
1.      Kepala desa yang meimpin upacara
2.      Istri Kepala Desa
3.      Sambutan Bupati Jepara
4.      Para perangkat desa yang mendampingi
5.      Modin sebagaoi pemimpin doa
6.      Kamitua sebagai pembaca doa di perempatan
7.      Para pemain yang telah mendaftarkan diri
8.      Para penonton yang ikut menyaksikan
F.      Penutupan acara
1.      Kepala Desa
2.      Perangkat Desa
3.      Bupati Jepara
4.      Modin
5.      Para pemain perang obor
6.      Istri Kepala Desa yang menyiapkan obat




BAB III
PENUTUPAN
A.    Kesimpulan

      Lomban dan perang obor seakan mengandung magnet yang mampu menyedot banyak orang berdatangan dari berbagai penjuru tempat. Meski, sebenarnya tidak ada sesuatu yang sama sekali baru yang “terhidangkan” di tradisi lomban jika dibandingkan dengan hari-hari (libur) biasa. Perahu-perahu yang disewakan untuk pengunjung juga sama perahu yang biasa melayani pengunjung di hari-hari (libur) biasa. Paling-paling hanya sedikit dihiasi dengan bahan janur. Memang, biasanya saat kupatan ada pertunjukan-pertunjukan hiburan rakyat yang jumlahnya relatif banyak. Dan, situasi itu mengundang banyak pedagang untuk berjualan, baik jenis makanan maupun suvenir (khas derah). Sekarang, berbagai lomba telah mulai berkurang. Ritual tahunan kupatan, agaknya tak hanya untuk ajang rekresai tradisi keluarga, tapi juga sebagai media bersilaturahmi antar pengunjung yang masih memiliki ikatan sosial, apakah teman lama, kolega, tetangga kampung, ataupun yang lainnya; jika di saat Lebaran mereka belum berjumpa. Di samping itu, dari sisi ekonomi, boleh jadi tradisi lomban menjadi lahan produktif.  Tak hanya menguntungkan pengusaha perahu/kapal, tetapi juga para nelayan, yang sehari-harinya ketika melaut tak selalu “menjanjikan”. Warga pesisir yang memiliki usaha kerajinan tangan boleh merasakan berkah. Pedagang musiman, yang barangkali tak hanya berasal dari daerah setempat, tetapi daerah lain pun teranugerahi rezeki. Itu artinya, perputaran ekonomi yang masih dekat dengan masa Lebaran, yang memungkinkan uang dari pusat-pusat ekonomi tergelontorkan ke daerah boleh juga mereka cicipi demi menjaga keberlangsungan hidup keluarga. Dari segi sosial, pesta lomban bisa menjadi sarana komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah Jepara serta antar masyarakat Jepara sendiri. Momentum pesta lomban dan perang obor menunjukkan bahwa masyarakat Jepara memegang teguh tradisi yang telah ada untuk diwariskan kepada penerus-penerus bangsa penerus-penerus bangsa.

B.     Penutup

Demikianlah makalah ini kami buat, kami sadar masih banyak kekurangan dalam penulisan maupun penyampaian dalam makalah ini.Oleh karena itu, kami butuh kritik dan saran dengan harapan kami dapat memperbaiki makalah selanjutnya.Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.






[1] Nama Jepara berasal dari kata ‘ujung’ dan ‘para’. Kata Para adalah kependekan dari ‘pepara’ yang berarti bebakulan mrana-mrana, yaitu berdagang kesana-kemari. Sementara itu Lekkerkerker menyebut Jepara dengan haventjes der klein handelaars artinya pelabuhan para pedagang kecil. Panitia Penyusunan Hari Jadi Jepara mengatakan bahwa pada umumnya kota-kota yang terletak di tepi pantai biasanya menggunakan kata ‘ujung’ seperti ‘Ujung Sawat’, ‘Ujung Gat’, ‘Ujung Kalirang’, ‘Ujung Jati’, ‘Ujung Lumajang’, dan ‘Ujung Blidang’ sehingga kata Jepara berasal dari kata ‘ ujung para, ujungmara atau jumpara’.

[2] Artikel Dinas Pariwisata Kabupaten Jepara

Komentar

Postingan Populer