Kalasifikasi Qira'at, Syarat, dan Macamnya



Klasifikasi Qira’at, dan Macam-macamnya, serta Syarat-syarat Bacaan yang Diterima

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Ilmu Tajwid dan Qira’at

Dosen Pengampu:
Abdul Jalil
Description: LOGO UIN.png
Oleh:
Muhammad Radya Yudantiasa                      15530095
M. Zia al-Ayyubi                                             15530057
Lia Fadhia                                                       15530055
Ghina Ainul hanifah                                       15530001

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2017
Pendahuluan

Qiroat merupakan cabang ilmu tersendiri dalam dalam Ulumul Qur’an, tidak banyak orang yang tertarik dengan ilmu qiroat. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu. Di antaranya karena memang ilmu ini tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dan muamalah manusia sehari-hari. Tidak seperti ilmu fiqih, hadis, dan tafsir. Sebab ilmu qiroat tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan dengan halal-haram atau hukum-hukum tertentu. Akan tetapi, penting bagi kita sebagai mahasiswa jurusan Ilmu al-Qur’an dan tafsir untuk mengkaji ilmu tajwid dan qiroat. Sejarah perkembangan qiroat merupakan sebuah keniscayaan dalam dunia Islam. Pada intinya ilmu qiroat mempelajari manhaj (metode, cara) masing-masing qurro’ dalam membaca al-Qur’an. Dan pada kesempatan kali ini kami akan membahas mengenai klasifikasi dan macam-maca qiroat sehingga ada hal-hal yang perlu dibahas dalam kesempatan kali ini yaitu apa pengertian qiroat? Bagaimana klasifikasi dan macam-macam qiroat? dan Bagaiamana syarat syah diterimanya suatu qiroat?















Pembahasan

A.    Pengertian Qiroat
Menurut bahasa, qiroat (القراءات) jamak dari qiroah (القراءة). Yang merupakan isim mashdar dari qoroa (قرأ). Qiroah artinya bacaan.[1] Adapun menurut istilah adalah ilmu yang mempelajari tata cara menyampaikan/membaca kalimat-kalimat al-Qur’an dan perbedaan-perbedaanya yang disandarkan kepada orang yang menukilnya. Ada beberapa pendapat ulama tentang pengertian qiroat ini.
1.         Syekh az-Zarqoni mengistilahkan qiroat dengan: “Suatu madzhab yang dianut oleh seorang imam dari pada imam qurro’ yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan Al-Qur’an al-Karim dengan keseuaian riwayat dan thuruq darinya. Baik itu pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuknya.[2]
2.         Imam al-Zarkasyi : Perbedaan (cara pengucapan) lafadz-lafadz al-Qur’an    baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut seperti takhfif (meringankan), tastqil (memberatkan), dan atau yang lainnya.[3]
3.         Imam al-Qasthalani: Ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat, i’rab, hadzf, itsbat, fashl, dan washal yang semuanya diperoleh secara periwayatan.[4]

B.     Klasifikasi Qira’at dan Macam-macam Qira’at
Pembagian Qiraat Al Qur’an,  terbagi menjadi tiga bagian, yaitu ditinjau dari segi diterima dan ditolak, segi sanad, serta dari segi kesatuan makna dan bilangannya[5]
1.      Pembagian Qiraat dari segi diterima dan ditolaknya
a.       Bacaan yang diterima (Qira’at Maqbulah)
Merupakan bacaan yang sanadnya shahih, sesuai dengan kaidah rasm Mushaf Utsmani serta sesuai dengan dialek Arab. Mengenai kedlobitan qira’at maqbulah yang menetapkanya  adalah Ibnu Mujahid (w. 324 H), Ibnu Khalawaih (w. 370 H), Makki bin Abi Thalib (w. 437 H), Ibnu Jazari (w. 833 H), Abu Syamah (w. 665 H) dan Kawasyi (w. 680 H). Penetapan tersebut mengacu pada dlobit sanad, dlobit rasm dan dlobit dialek Arab.
Macam macam Qira’at Maqbulah:
1)      Qira’at Mutawatir
2)      Qira’at Masyhur
3)      Qira’at Ahad
Adapun hukumnya, qira’at mutawatir dan qira’at masyhur merupakan qira’at yang disepakati, dibaca ketika sholat serta sesuai dengan hakikat Al-Qur’an (membacanya merupakan ibadah). Sedangkan qira’at ahad sesuai dengan dialek Arab, sanadnya sah, tidak syadz dan tidak ada kejanggalan, namun memilki rasm yang berbeda. Qira’at ini diterima, namun tidak dibaca karena ke-ahad-an yang dimilikinya.
b.      Bacaan yang ditolak (Qira’at Mardudah)
Merupakan qira’at yang tidak memenuhi dlobit qira’at maqbulah. Akidah dari qira’at mardud adalah kebalikan dari ke dlobitan qira’at maqbulah. Hukumnya tidak masuk dalam hitungan bacaan, tidak dibaca dalam sholat serta ketika membaca tidak ada nilai ibadah layaknya saat membaca Al-Qur’an.
Macam-macam Qira’at Mardudah
1)      Qira’at ahad (yang bukan termasuk dialek Arab)
2)      Qira’at Syadzah
3)      Qira’at Mudrajah
4)      Qira’at Maudu’ah

2.      Pembagian berdasarkan Sanad
a.       Qira’at Mutawatir
b.      Qira’at Masyhur
c.       Qiraat Ahad
3.      Pembagian dari Segi Makna dan Beberapa Makna
a.       Qira’at Satu Makna
Qira’at satu makna yaitu qira’at yang berbeda dan menjadi perselisihan dalam pelafadzan, namun disepakati maknanya. Didalamnya termasuk qira’at yang berbeda dalam hal ushul. Seperti perbedaan mad, meringankan (menghilangkan) hamzah, idzhar, idghom dan beberapa hal lain dari ushul yang terkadang masuk didalamnya qira’at yang berbeda dalam segi farsy.
b.      Qira’at yang memiliki banyak makna
Merupakan qira’at yang diperselisihkan dalm hal lafadz dan maknanya. Perbedaan makna yang dimaksudkan adalah perbedaan macam-macamnya, bukan perbedaan yang kotradiktif. Ibnu al-Jauzi mengatakan, ada tiga perbedaan yang dimaksudkan, yaitu tanaqud (kritik), kebohongan dan perbedaan yang berlainan dengan ke fashihan kalam.
4.      Pembagian dari Segi Jumlah
Penyebutan jumlah Qira’at sangat beragam, ada yang mengatakan enam, tujuh, delapan, sepuluh, sebelas, tiga belas dan empat belas. Tetapi, dari sekian macam jumlah qira’at yang dibukukan, hanya tiga macam yang masyhur [6], yaitu :
a.       Qira’at Sab’ah
1)      Nafi, yang meriwayatkan dari beliau adalah Qalun dan Warsy
2)      Ibnu Katsir, yang meriwayatkan dari beliau adalah al-Buzzi dan Qumbul
3)      Abu Amr, dua periwanya yang terkenal adalah ad-Duri dan as-Susi
4)      Ibnu Amir, perawi qira’atnya adalah Hisyam dan Dzakwan
5)      ‘Ashim, perawinya adalah Syu’bah dan Hafs
6)      Hamzah, peranya yang masyhur yaitu Khalaf dan Khallad
7)      Khalaf al-Asyir, yang meriwayatkan dari beliau adalah Ishaq dan Idris
b.      Qira’at Arba’  ‘Asyrah
Dalam qira’at ini, ditambahkan 4 orang yang disandarkan pada :
1)      Ibnu Muhais, perawinya al-Bazzi dan Abu al-Hasan
2)      Al-Yazidi, perwinya adalah Sulaiman bin al-Hakam serta Ahmad bin Farh
3)      Hasan al-Basyri, perainya yaitu Syuja’ dan ad-Duri
4)      Al-Amasy, yang meriwayatkan dari beliau adalah al-Hasan bin Sa’id dan Abu al-Farjh[7]

Adapun macam-macam dari Qira’at menurut Nabil ibn Muhammad Ibrahim al-Isma’il diantaranya adalah:
1.      Qira’at Mutawatir
Qira’at Mutawatir adalah qira’at yang diriwayatkan oleh banyak orang yang didapatkan dari banyak orang pula menurut adat dan kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta dari awal hingga akhir sanad, tanpa ada batasan jumlah banyak sedikitnya orang tersebut.[8]
2.      Qira’at Masyhur
Merupakan qira’at yang sanadnya shahih, namun tidak sampai derajat mutawatir, sesuai dengan salah satu mushaf usmani dan sesuai dengan salah satu dialek Arab.
Contohnya dengan mem fathah kan huruf  ت  pada lafadz
وَمَا كُنتُ مُتَّخِذَ ٱلۡمُضِلِّينَ عَضُدٗا,  وَمَا كنتَ مُتَّخِذَ ٱلۡمُضِلِّينَ عَضُدٗا         
Dua jenis qira’at tersebut disandarkan kepada Abu Ja’far al-Madani. Keduanya merupakan bacaan yang telah disepakati.[9]
3.      Qira’at Ahad
Seperti yang sudah dijelaskan di awal, bahwa qira’at ahad adalah qira’at yang sah sanadnya, tidak syadz tidak janggal tetapi berbeda rasm (rasm Utsmani), ada juga yang menambahkan bahwa qira’at tersebut menyimpang dari kaidah bahasa Arab.
Contoh qira’at yang shahih sanadnya, sesuai dengan kaidah bahasa Arab tetapi tidak sesuai dengan rasm utsmani adalah qira’at yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqash
ךßÍÿ÷×Èe 7Ïnºur @ä3Î=sù من أمه  M÷zé&  rr& îˆr& ¼ã&s!ur ×or&tøB$#  rr& »'s#»n=Ÿ2 ^uqム@ã_u c%x.bÎ)ur   
¨ß¡9$#اyJßg÷YÏiB
Contoh qira’at yang shahih sanadnya, sesuai dengan rasm usmani, namun tidak sesuai dengan dialek Arab yakni qira’at yang diriwayatkan oleh Nafi’
3 ·ÍŠ»yètB $pkŽÏù Nä3s9 $uZù=yèy_ur ÚöF{$#Îû öNà6»¨Z©3tB s)s9ur
Qiro’at ini diriwayatkan oleh Kharijah bin Mush’ab dari Nafi’ dengan redaksi معائش    qira’at Hamzah.[10]
4.      Qira’at Syadzah
Qira’at Syadzah ialah qira’at yang tidak sah sanadnya, menyalahi rasm Utsmani, serta tidak termasuk dalam bagian dialek bahasa Arab.
Contohnya :
فَٱلۡيَوۡمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ
Lafadz نُنَجِّيكَ  dibaca نُنَحّيكَ  ditasydid serta dikasrah kan ha nya. Qira’at tersebut tidak sah dalam bahasa Arab serta menyalahi rasm Ustmani.
5.      Qira’at Mudrajah
Qira’at Mudrajah merupakan qira’at yang terdapat unsur penyisipan dan penambahan antara kalimat al-Qur’an dengan tafsir. Pada intinya terdapat penambahan tafsir dalam bacaan.
Contoh :
وَلَهُۥٓ أَخٌ أَوۡ أُخۡتٞ (من امه)[11]
6.      Qira’at Maudhuat
Merupakan qira’at yang dinisbahkan kepada orang yang mengatakannya tanpa mempunyai dasar periwayatan sama sekali.[12] Dikatakan pula, qira’at yang dibuat-buat, seperti qira’at yang disusun Abu al-Fadl Muhammad bin Ja’far al-Khuza’i, dan menisbatkannya kepada Abu Hanifah.
إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْ
Dengan me-rafa’kan lafadz al-jalalah dan me-nashab kan hamzah pada lafadz ‘ulama, padahal qira’at yang benar adalah sebaliknya (yang tertera diatas).[13]

C.    Syarat-Syarat Sahnya Qiroat
Para ulama menetapkan tiga syarat sah dan diterimanya qiroat yaitu:[14]
1.      Setiap qiroat yang sesuai dengan bahasa Arab walaupun dari satu segi.
2.      Sesuai dengan salah satu mushaf Usmani walaupun baru kemungkinan saja.
3.      Sahih Sanadnya.
Ibn al-Juzuri berpendapat  bahwa syarat-syarat tersebut harus ada dalam sebuah Qiro’ah. Menurutnya, jika ketiga syarat itu terpenuhi dalam sebuah qiro’ah, qiro’ah tersebut dianggap mutawattir, benar dan sesuai dengan tujuh qari’. Jika hanya syarat yang pertama dan ketiga yang terdapat dalam sebuah qiro’ah tanpa adanya kecocokan dengan penulisan al-Qur’an, qiro’ah tersebut dianggap qiro’ah syadzah, sebagaimana pendapatnya Abu Darda’, Umar, Ibnu Mas’ud, dan yang lainnya. Menurut mereka, bacaan-bacaan tersebut dianggap qiro’ah syadzah karena dianggap tidak sesuai dengan pola penulisan al-Qur’an yang disepakati  oleh para ulama.oleh karena itu, qiro’ah syadzah tidak boleh dibaca di dalam atau di luar sholat.       [15]
Jika di dalam suatu bacaann hanya terdapat dua syarat yang pertama dan kedua, bacaan tersebut dianggap lemah dan syadz. Jika suatu qiro’ah tidak ada sanadnya, qiro’ah tersebut tidak dianggap syadz tetapi dianggap qiro’ah buatan dan dihukumi kafir bagi bagi siapa saja yang sengaja melakukannya.  Walaupun qiro’ah tersebut sesuai dengan arti atau pola penulisan al-Qur’an atau pun alah satunya.[16]
Yang dimaksud dengan sesuai dengan kaidah bahasa Arab adalah meskipun dari satu segi adalah tidak menyalahi satu segi segi-segi qowa’id bahasa Arab. Baik itu bahasa Arab yang yang paling fasih ataupun sekedar fasih atau berbeda sedikit tetapi tidak sampai mempengaruhi maknanya. Tetapi lebih dijadikan pegangan adalah qiroah yang telah terkenal dan tersebar luas dan diterima oleh para imam dengan sanad yang shohih. Karena jika segi nahwu yang dijadikan pegangan, tentu qiroat yang mutawattir akan berkurang jumlahnya. Ad-Dani berkata: “ Para imam Qurro’ itu tidak berpegang sedikit pun dari huruf-huruf al-Qur’an pada apa yang masyhur dalam bahasa dan yang terkenal dari qo’idah nahwu. Tetapi, mereka bersandar teguh pada atsar dan yang paling benar dalam naql serta riwayat.[17]
Dan yang dimaksud dengan sesuai dengan salah satu mushaf usmani adalah terdapat dalam salah satu dari  mushaf usmani meskipun tidak terdapat mushaf yang lain. (فَلَا يَخَافُ عُقۡبَٰهَا)[18], dibaca fa’ sebagai ganti dari wawu. Dalam mushaf Madani memang tertulis begitu. Adapun yang dimaksud dengan meskipun hanya kemungkinan, yaitu dengan rasm mushaf al-imam dalam periwayatanya meskipun hanya kira-kira. Seperti مَالِكِ يَوۡمِ ٱلدِّين)) . sebenarnya pada semua mushaf tertulis degan membuang alif pada kalimat itu. Maka qiroah yang membuang alif mengandung kepastian karena pada ayat ini memang tidak ditulis dengan alif.
Terdapat sedikit perbedaan dikalangan ulama dalam masalah sanad. Sebagian mengatakan cukup dengan shohih saja. Sebagian lain mensyaratkan harus mutawattir. Makki bin Abi Thalib berkata: “Qiroah shohihah adalah qiroah yang shohih sanadnya sampai kepada nabi saw, memenuhi segi-segi bahasa Arab, dan sesuai dengan tulisan mushaf. Ibnu al-Jazari dalam Thoyyibahnya juga sependapat dengan makki dalam masalah ini. Namun kami yakin bahwa yang dimaksud dengan shahih oleh Makki dan Ibnu al-Jazari adalah mutawattir.[19]










Penutup

Setelah melakukan pembahasan tentang klasifiksasi dan macam-macam qiro’at serta syarat syah diterimanya suatu qiro’at. Dapat disimpulkan bahwasanya terdapat empat segi klasifikasi dalam qiro’at. Yang pertama yaitu dari segi diterima dan ditolaknya (qiro’at maqbulah dan qiroat mardudah). Dari segi sanad terdapat tiga bagian yaitu mutawattir, masyhur, dan ahad. Kemudian dari segi satu makna dan banyak makna. Dan yang terakhir yaitu menurut jumlahnya, terdapat Qira’at Sab’ah, Qira’at ‘Asyrah, dan Qira’at Arba ‘Asyrah dengan imam-iman yang disandarakannya penukilannya.
Adapun mengenai macam-macam qiro’at dibagi menjadi enam, hal ini masihlah tetap dalam jangkauan klasifikasi-klasifikasi yang telah dilakukan sebelumnya. Keenam macam-macam tersebut adalah mutawattir, masyhur, ahad, syadzah, mudrojah serta maudhu’ah. Terdapat perbedaan mengenai beragam macam qira’at tersebut, beda dalam hal periwayatan, kes}hahihan sanadnya, maupun dari segi lainnya.
Dan yang terakhir yaitu mengenai syarat diterimanya suatu qiro’at yang para ulama secara umum menetapkan tiga syarat yaitu Setiap qiroat yang sesuai dengan bahasa Arab walaupun dari satu segi, sesuai dengan salah satu mushaf Usmani walaupun baru kemungkinan saja, sahih sanadnya.









Daftar Pustaka

Akaha, Abduh Zulfidar. 1996. Al-Qur’an dan Qiroat. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Al-Isma’il, Nabil bin Muhammad Ibrahim. 2000. Ilmu al-Qiro’at. Riyadh: Maktabah at-Taubah.
Al-Qattan, Manna’, 2004. Mabahisn fi Ulum al-Qur’an. Terj. Aunur Rafiq el-Mazni. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Isma’il, Sya’ban Muhammad. 1996. Mengenal Qira’at al-Qur’an, terj. Sa’id Agil Munawar Dkk. Semarang: Dina Utama
Syahin, Abdul Shabur. 2005. Saat Al-Qur’an Butuh Pembelaan. Jakarta: Erlangga.


[1] Nabil bin Muhammad Ibrahim al-Isma’il, ‘Ilmu al-Qiroat, (Riyadh: Makatabah at-Taubah, 2000), hlm. 26.
[2] Nabil bin Muhammad Ibrahim al-Isma’il, ‘Ilmu al-Qiroat, hlm. 28.
[3] Nabil bin Muhammad Ibrahim al-Isma’il, ‘Ilmu al-Qiroat, hlm. 27.
[4] Nabil bin Muhammad Ibrahim al-Isma’il, ‘Ilmu al-Qiroat, hlm. 27.
[5] Nabil bin Muhammad Ibrahim al-Ismail, ‘Ilmu al-Qiroat, hlm. 35-48.
[6] Abduh Zulfidar Akaha,, al-Qur’an dan Qira’at (Jakarta: Pusat al-Kautsar, 1996), hlm. 128-129
[7] Abduh Zulfidar Akaha,, al-Qur’an dan Qira’at, hlm. 139-174
[8] Abduh Zulfidar Akaha,, al-Qur’an dan Qira’at, hlm. 121
[9] Nabil bin Muhammad Ibrahim al-Isma’il, ‘Ilmu Qiraat’, hlm. 42
[10] Sya’ban Muhammad Isma’il, Mengenal Qira’at al-Qur’an, terj. Sa’id Agil Munawar dkk, (Semarang: Dina Utama, 1996), hlm. 88.
[11] Nabil bin Muhammad Ibrahim al-Ismail, ‘Ilmu Qiroat , hlm. 44.
[12] Nabil bin Muhammad Ibrahim al-Ismail, ‘Ilmu Qiroat , hlm. 45.
[13] Abduh Zulfidar Akaha,, al-Qur’an dan Qira’at (Jakarta: Pusat al-Kautsar, 1996), hlm. 123.
[14] Abduh Zulfidar Akaha, al-Qur’an dan Qiroat, hlm. 132.
[15] Abdul Shabur Syahin, Saat Al-Qur’an Butuh Pembelaan, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 326.
[16] Abdul Shabur Syahin, Saat Al-Qur’an Butuh Pembelaan, hlm. 326.
[17] Abduh Zulfidar Akaha, al-Qur’an dan Qiroat, hlm. 133.
[18] Q.S. Asy-Syams: 15
[19] Abduh Zulfidar Akaha, al-Qur’an dan Qiroat, hlm. 134.

Komentar

Postingan Populer